JAM Pidum Terapkan 14 Restorative Justice, Salah Satunya Perkara Penadahan di Bandar Lampung

Rabu, 30 Oktober 2024, Oktober 30, 2024 WIB Last Updated 2024-10-31T10:40:23Z


Jakarta, Online_datapublik.com
- Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual untuk menyetujui 14 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Rabu, 30 Oktober 2024.


Salah satu perkara yang diselesaikan adalah kasus yang melibatkan Moh. Rahmat alias Ome bin Joni Arif dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan. Kasus ini bermula pada Sabtu, 10 Agustus 2024, sekitar pukul 21.00 WIB di Jalan Arjuna Gang Kancil, Kelurahan Sawah Lama, Kecamatan Tanjung Karang Timur, Kota Bandar Lampung.


Saat itu, tersangka mendengar percakapan antara saksi Agus Maulana bin Tb Makruf dan Irwan Prasetyo, di mana Agus menawarkan sepeda motor Yamaha Vega ZR 2010 warna hitam untuk digadai.


Tersangka, yang merasa kasihan, akhirnya menerima motor tersebut dengan harga Rp600.000 tanpa disertai STNK atau BPKB.


Keesokan harinya, tersangka kembali menggadaikan motor tersebut kepada temannya, Agam, seharga Rp800.000. Pada Rabu, 21 Agustus 2024, tersangka ditangkap oleh pihak kepolisian Polsek Teluk Betung Timur dan membawa sepeda motor tersebut untuk proses hukum lebih lanjut.


Setelah memahami kondisi kasus, Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Helmi, S.H., M.H., bersama Kasi Pidum Maudin, S.H., M.H., serta Jaksa Fasilitator Dina Arifiana, S.H., dan Alex Sander Mirza, S.H., menginisiasi penyelesaian kasus ini melalui mekanisme Restorative Justice. 


Dalam prosesnya, tersangka mengakui kesalahannya, meminta maaf, dan korban pun memaafkan serta meminta penghentian proses hukum. 


Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung kemudian mengajukan permohonan penghentian penuntutan yang disetujui oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung, Dr. Kuntadi, S.H., M.H., serta dalam ekspose oleh JAM-Pidum pada Rabu, 30 Oktober 2024.


Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui 13 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, yang di antaranya:


1. Carlo Billy Alvonso Tatara alias Carlo dari Kejaksaan Negeri Ambon, terkait Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

2. Celestinus Letsoin alias Sil dari Kejaksaan Negeri Tual, terkait Pasal 335 Ayat (1) KUHP tentang Pengancaman atau Pasal 212 KUHP.

3. Masiah dari Kejaksaan Negeri Lombok Tengah, terkait Pasal 310 Ayat (4) atau Ayat (3) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas.

4. Muhammad Nasir alias Nasir bin Supianor dari Kejaksaan Negeri Palangkaraya, terkait Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

5. M. Saini bin Jumri dari Kejaksaan Negeri Kotawaringin Timur, terkait Pasal 374 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Penggelapan dalam Jabatan.

6. Hendi Pratama bin Sutomo dari Kejaksaan Negeri Kota Pringsewu, terkait Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

7. Junedi alias Juned bin Sarno dari Kejaksaan Negeri Pringsewu, terkait Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

8. Agus Maulana bin Tb. Makruf (Alm) dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, terkait Pasal 363 Ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.

9. Andri Afriansyah bin Yusron HR dari Kejaksaan Negeri Palembang, terkait Pasal 363 Ayat (1) ke-4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan.

10. Johanes David Joverd Lolaroh dari Kejaksaan Negeri Sangihe, terkait Pasal 351 Ayat (2) KUHP tentang Penganiayaan.

11. Jidan Gumohung dari Kejaksaan Negeri Bolaang Mongondow Utara, terkait Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

12. Putra Kamil Albahtimi bin Arifin M. Said dari Kejaksaan Negeri Yogyakarta, terkait Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.

13. Baharuddin Kombih bin Alm. Abdurrahman dari Kejaksaan Negeri Subulussalam, terkait Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.


Pertimbangan untuk menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini didasarkan pada beberapa faktor, antara lain:


Adanya proses perdamaian, di mana tersangka telah meminta maaf dan korban memberikan permohonan maaf.


Tersangka belum pernah dihukum.

Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.


Ancaman pidana yang dikenakan tidak lebih dari 5 tahun.

Tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.


Perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa tekanan, paksaan, atau intimidasi.

Kesepakatan bersama antara tersangka dan korban untuk tidak melanjutkan perkara ke pengadilan demi manfaat yang lebih besar.


Pertimbangan sosiologis serta respons positif dari masyarakat.

Dalam kesempatan ini, JAM-Pidum juga menegaskan kepada Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2020 serta Surat Edaran JAM-Pidum No. 01/E/EJP/02/2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.


( red )

Komentar

Tampilkan

Terkini